Saturday 22 December 2012

MAKHORIJUL HURUF LENGKAP

Assalam
Setelah sekian lama jokosungsang tidak mengupload dan mengupdate blog dan Setelah sekian lama mempublikasikan gambaran makhorij huruf di ibnukholid.blogspot.com kini kami memberikan gambaran secara lengkap dan keseluruhan makhorij huruf dalam 1 file saja. Kalau ada yang membutuhkan silahkan di down saja!!
semoga bermanfaat bagi pembaca sekalian, Amiin....!!

Thursday 29 November 2012

MUJAHADAH BA'DA SUBUH


Di bawah ini adalah deretan kalam-kaam Mujahadah yang dibaca sehabis shalat Shubuh setiap pagi hari Selasa dan hari Jum'at. 
sumber Mujahadah adalah dari KH. M Aliyyul Munief Qst, Pengasuh pondok pesantren ma'ahidul 'irfan soropaten gandusari bandongan magelang jawa tengah.

من اراد الدنيا فعليه بالعلم ومن اراد الاخرة فعليه بالعلم ومن ارادهما فعليه بالعلم
مجاهدة بعد الصبح

اَلاَوْرَادُ صَبَاحَ الثُّلاَثََآءِ وَالْجُمْعَةِ
١. صَبَاحَ الثُّلاَثََآءِ قِرَائَةُ سُوْرَةِ الْوَاقِعَةِ
٢. صَبَاحَ الْجُمْعَةِ قِرَائَةُ سُوْرَةِ يَسآ
اْلاَوْرَادُ
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ .............................................. ٣١٣
صَلَّى اللهُ عَلَى مُحَمَّدٍ..................................................        ١٠٠
يَافَتَّاحُ يَاعَلِيْمُ  ..........................................................    ١١
اِفْتَحْ لَنَا قُلُوْبَنَا فُتُوْحَ الْعَارِفِيْنَ  .......................................      ١
اَلدُّعَآءُ  
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آَلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ اَللَّهُمَّ نَوِّرْ بِالْكِتَابِ بَصَرِيْ وَاشْرَحْ بِهِ صَدْرِيْ وَاسْتَعْمِلْ بِهِ بَدَنِيْ وَيَسِّرْ لِيْ بِهِآ اَمْرِيْ وَاطْلُقْ بِهِ لِسَانِيْ وَقَوِّ بِهِ جَنَانِيْ وَاَسْرِعْ بِهِ فَهْمِيْ وَفَرِّجْ بِهِ كَرْبِيْ وَقَوِّ بِهِ عَزْمِيْ وَنَوِّرْ بِهِ قَلْبِيْ وَارْزُقْنِيْ تِلاَوَةَ الْقُرْآنِ وَاَكْرِمْنِيْ بِاَنْوَاعِ الْخَيْرَاتِ بِحَوْلِكَ وَقُوَّتِكَ فَاِنَّهُ لاَحَوْلَ وَلاَقُوَّةَ اِلاَّ بِاللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ

Sunday 21 October 2012

CERPEN PESAN BUNDA JUARA 1 CERPEN PP IPPNU 2012



di bawah ini jokosungsang sedikit sharingkan sebuah karya yang telah diseleksi menjadi juara 1 lomba cipta puisi yang diselenggarakan PP IPPNU Jakarta. karya cerpen Pesan Bunda dibuat oleh santri dengan data sebagai berikut: 

Nama Asli                               : Naili Halimah

Tempat, Tanggal Lahir            : Magelang, 21 Juni 1990
Alamat                                     : Dusun Bugangan, Desa Trasan,Kecamatan Bandongan
                                                  Kabupaten Magelang, Propinsi Jawa Tengah
Kode Pos                                : 56151
Telephone                                : 081328122907 / 085743902738
Nama lembaga Pendidikan     : Pondok Pesantren Ma’ahidul ‘Irfan
Alamat Lembaga                     : Dusun Soropaten, Desa Gandusari,
  Kecamatan Bandongan, Kabupaten Magelang,
  Propinsi Jawa Tengah
            Kode Pos                                : 56151
  dan di bawah ini adalah karyanya, silakan dibaca dan dipahami!hehehe




PESAN BUNDA

Jam bandul di masjid pondok berdentang tiga kali. Gema suaranya merambat ke segala penjuru mata angin yang mampu dicapai dengan kakuatan dentangan itu sendiri. Pada akhirnya gelombang ultrasonic itu menggelitik gendang telinga kang rahmat. Mata beratnya mencoba menangkap cahaya agar bisa melihat di sekitarnya, mengerjap-ngerjap, masih ngantuk, ia hampir terlelap kembali. Tapi ketika matanya menangkap sosok kecil Haikal yang meringkuk dalam pelukannya, ia tak jadi tidur kembali meski mata yang baru terlelap tadi jam 1, merengek minta diistirahatkan.
Dengan penuh kasih kang Rahmat memandang wajah Haikal, wajahnya masih  meski jauh lebih baik dari saat pertama kali datang. Bekas-bekas air wudhu belum kentara memancarkan cahaya wajahnya, itu bisa dimaklum dia baru 2 pekan mukim di pondok. Hati kang Rahmat terasa sakit melihat wajah pucat Haikal. Dengan mata membengkak karena sudah 3 hari ini dia nangis terus, dia tampak lebih kurus dari biasanya.
“Ada apa sebenarnya Kal?”Tanya kang Rahmat sambil mencium kening Haikal lembut. Kang Rahmat sangat menyayangi Haikal, bocah berusia 12 tahun itu telah ia anggap adik sendiri bahkan terkadang kang Rahmat merasa Haikal seperti anaknya. Ia tak bisa membiarkan anak sekecil Haikal hidup sendiri meski harus dilatih mandiri.
“Sudah bangun?”tanya kang Rahmat saat dilihatnya mata bengak Haikal mengerjap-ngerjap. Dalam  hati kang Rahmat berdoa semoga Haikal tidak merengek minta pulang seperti 3 hari ini. Ia khawatir Haikal benar-benar akan melarikan diri seperti katanya tadi malam.
“Jam berapa kang?”Tanya Haikal serak, ia menarik sarung sampai keleher dan merapatkannya ketubuh, meringkuk kembali dengan mata merem-melek.
“Tahajud yuk”ajak kang Rahmat, Haikal mengangguk kecil tapi tetap dalam posisi semula. Kang Rahmat bangkit dan menawarkan punggungnya untuk Haikal. Tapi bocah itu malah diam sambil mengucek-ngucek matanya.
“Ayolah …”bujuk kang Rahmat seraya memunggung Haikal, agar Haikal mudah naik ke punggungnya”Berat lho kang”serak Haikal masih dengan mata menyipit.
“Apa, berat? Mana mungkin kal, lihat tanganmu aja separuh tanganku, mana mungkin bagiku kamu berat, cepet naik dari pada nanti kamu kejebur kolam” jawab kang Rahmat seraya menarik Haikal kepunggungnya. Tanpa terasa rasa damai merasuki jiwa Haikal ditengah rasa gundahnya Haikal menemukan muara kesejukan. Dengan  pasrah  Haikal  meletakkan  kepalanya  dipunggung kang Rahmat, mencoba merengkuh semua rasa damai dan hangat dari kang Rahmat. Tangan kecil Haikal terulur melingkar dileher kang Rahmat.
“Kang aku pengen pulang”rengek Haikal, suara seraknya menggema dalam hati kang Rahmat, suara itu seakan transfer rasa sakit akan luka dihati Haikal. Matanya mulai berkaca-kaca”kapan kang aku boleh pulang”serak Haikal kembali. Kini air mata sudah tak kuasa ia bendung, hening itu mulai mengalir dan jatuh dipunggung kang Rahmat. Kang Rahmat merasakan punggungnya menghangat, ikut merasakan sesak yang dirasakan Haikal. Ia diam, habis kata-kata untuk menenangkan Haikal. Ia tak tahu bagaimana cara menolong Haikal sedang ia sama sekali tak tahu apa yang tengah menimpa Haikal.”Sabar Kal…..Allah pasti memberi jalan, dibalik segala sesuatu itu pasti ada hikmahnya”akhirnya hanya kata-kata itu yang keluar dari mulut kang Rahmat, setelah meraba-raba, kira-kira apa yang menyebabkan Haikal jadi seperti itu.
Sampai di depan masjid kang Rahmat menurunkan Haikal dianak tangga teratas. Mereka duduk bersebelahan. Mata bengkak Haikal masih saja basah bahkan sesekali air mata mengalir dipipi kurusnya. Dengan penuh kasih sayang kang Rahmat merangkul bahu Haikal, mencoba memberi kekuatan pada hati Haikal melalui tangan kokohnya.
“Sudahlah Kal, tar kamu malah kehabisan air mata, kamu mau nangis tapi gak keluar matanya”hibur kang Rahmat mencoba melucu. Tapi bukannya diam atau tersenyum kecil Haikal malah makin serenggukan.”Aduh malah jadi gini”batin kang Rahmat, pikirnya melayang mencoba menelusuri jejak-jejak hidup di 3 hari yang lalu coba mencari onak apa yang telah merebut senyum dan keceriaan Haikal. Yah kini kang Rahmat ingat 3 hari yang lalu ada surat dari rumah dan sejak itulah Haikal berubah jadi pendiam, suka menyendiri dan sering nangis.
“Sebenarnya kamu ini kenapa? Kemarin-kemarin aja kamu ceria, kamu bilang juga kerasan, lha ini kenapa kok kamu jadi nangis terus begini, apa ada yang jail atau….”
“Aku ingin pulang kang,….”Haikal menghapus air matanya, menahan isak tangisnya. Kang Rahmat mendesah, ia turut merasa tak menentu melihat keadaa Haikal.
Dengan lembut kang Rahmat membelai kepala Haikal, menyandarkan kepala Haikal ke pundaknya,sejenak suasana hening dan diam.”Haikal kamu ingat, kamu pernah bilang mau jadi anak yang sholeh,menjadi orang yang pinter ngaji bisa ndongakke marang wong tuwo loro seperti yang ibu kamu harapkan, kamu harus kerasan, harus bertahan hingga 40 hari baru pulang, kamu kamu masih ingatkan pesan dan harapan ayah ibu kamu sebelum kamu ke sini.”nasihat okkang Rahmat”masa baru 2 pekan udah mau pulang, dapet apa kal, juz ‘amma aja belum hafal gimana bisa mendoakan orang tua, ingat kal apapun yang terasa berat dihati kita itu cobaan untuk orang yang sedang menuntut ilmu, di mana-mana orang menuntut ilmu pasti dicoba oleh Allah. Dan kamu harus tahu kal, Allah itu mencoba kita menurut kadar kemampuan kita”panjang lebar kang Rahmat menasihati. Bukannya diam tangis Haikal kian menjadi, ia teringat semua nasihat ibunya saat ia berangkat, ingat kata-kata serat makna yang mengalir dari jiwa ibunya ketika ia hendak berangkat mondok, air mata orang tua itu tak berjeda, terus mengalir mengantar kepergian Haikal, antara rela dan tak rela, antara berat dan harapan tinggi akan putea semata wayangnya.”hiks…….ibu maafkan Haikal ibu….”
“Ada apa kang?”Tanya Rusydi yang mimpi indahnya terganggu oleh tangis Haikal, beberapa santri yang tidur di serambi masjid juga terbangun karena tangisan Haikal.
“Ini kang, Haikal masih minta pulang”sahut kang Rahmat tak enak hati.
“Oh…..”kang Rusydi maklum segera berlalu. Sepeniggal kang Rusydi, kang Rahmat langsung memeluk Haikal, membiarkan Haikal menangis didadanya.”Ayo katanya mau tahajud”bisik kang Rahmat setelah Haikal tenang.”Jangan lupa berdoa sama gusti Allah semoga kita diberi hati yang istiqomah, semoga kuat menghadapi cobaan, semoga diberi ilmu yang bermanfaat dunia akhirat, semoga kita bisa bakti sama orang tua, doakan bapak, emak di rumah, kita di sini disuruh ngaji dan berdoa mereka, bukan buat nangisi mereka, dipundak kita ada beban, kita harus jadi orang berilmu lagi mengamalkan ilmunya seperti harapan orang tua kita, agar kita bisa manfaati buat akhirat mereka……yuk kita wudhu” usai berkata begitu kang Rahmat membimbing Haikal ke kolam untuk mengambil air wudhu.
Musik masih menggema, nyanyian ribuan jangkrik masih memenuhi jagat malam itu, di langit bulan sabit merajai lukisan malam dan kerlip bintang-gemintang di lautan pekat petaka angkasa. Di dalam masjid pondok, diantara santri-santri yang tengah khusyu’ qiyamul lail, Haikal bersimpuh di atas sajadahnya, air mata yang terus mengalir sejak ia takhbirotul ihrom tadi kini tumpah ruah di atas sajadah. Hati yang senantiasa gundah berselimut prasangka pada Allah, ia pasrahkan sepenuhnya pada yang menciptakan jagat raya. Ia mengadu segala duka lara hati pada illahi, memasrahkan takdir pada yang berhak merubah takdir. Dalam benaknya, berkelebat bayangan pucat ibunya, tersenyum memudakan kembali segala nasihat yang pernah diberi, merobok kembali luka dihati.
“Illahi……hanya pada-Mu kembalinya segala sesuatu, hanya ditangan-Mu segala apa yang ada, kau Penguasa Yang Maha Perkasa namun begitu bijaksana….Robb….atas ridho dan rahmat-Mu, atas taufiq dan hidayah-Mu, kuatkan hamba hadapi segala cobaan…..beri hamba rizqi ilmu yang bermanfaat…..Robb…..beri hamba kekuatan, kesehatan, kemudahan dalam menuntut ilmu-Mu jauh disana ya robb, semoga engkau senantiasa melebarkan sayap rahanan rahim-Mu pada ayah ibu limpahkan beribu kebaikan atas mereka ya robb…….”Haikal terus berdoa dengan linangan air mata, terus memohon dengan kerendahan jiwa untuk kedua orang tuanya.
Di pojok shaf pertama kang Rahmat menatap Haikal sedih. Diam-diam kang Rahmat menyelinap keluar masjid, angin menyapanya di tengah keremangan cahaya lampu, membuatnya menggigil kedinginan, bulu romanya meremang. Tapi kang Rahmat tak peduli,ia tetap melangkahkan kaki, kembali menyusuri jalan menuju pondok,menuju kamar 7, kamar yang terletak paling ujung dari 7 kamar yang ada.
Sesampainya di kamar kang Rahmat segera menghampiri tempat baju Haikal, mencari-cari kertas yang menurutnya membuat Haikal bermuram durja. Lama kang Rahmat membuka-buka sela pakaian Haikal, nihil. Setelah merapikan kembali pakaian Haikal kang Rahmat beralih ke tempat kitab Haikal yang isinya cuma beberapa buku tulis dan kitab. Dengan mudah kang Rahmat menemukan amplop putih itu didalam kitab arbain nawawi. Perlahan dengan hati berdebar kencang kang Rahmat membuka amplop itu membuka lipatan kertas kecil itu, tampaklah secarik kertas dengan barisan rapi rangkain kata tampak benar surat itu ditulis dalam keadaan tak menentu, tulisannya sedikit tak karuan, tanpa pembuka maupun penutup,singkat padat dan langsung pada inti permasalahan.
Ananda tercinta……bolehkah bunda bermain kata….meski teramat singkat, Haikal sayang maafkan bapak, bunda telah melanggar aturan pondok, dengan berkirim berita pada waktu yang salah, tapi…..Haikal…..ibu hanya berpesan …..doakan ibu nak…..ibu sedikit demam……doakan ya semoga lekas sembuh dan bisa bantu ayah di rumah….kasihan ayah harus masak nyuci sendiri belum lagi ngurus ibu. Haikal uangnya masihkan, dihemat dulu ya…..mungkin kirimannya agak telat…….maafkan ayah ibu Haikal……jangan lupa ngaji yang benar, berdoa buat kebaikan semuanya. Percaya Allah itu kuasa…..pesan ibu nak…..kerasan di pondok ya, ngaji yang temen…..di barengi doa dan riadhoh……jangan lupa puasa ya nak, masani ilmumu biar sedikit yang penting manfaat.
Tanpa terasa air mata kang Rahmat menitik membaca surat yang begitu menyentuh dan serat akan nasihat itu, tapi di sudut hatinya ada rasa yang mengusik ketenangan batinnya. Entahlah , dosa apakahtidak jika ia sama sekali tak percaya akan isi surat itu hati kecilnya berkata bahwa ibu Haikal tak hanya demam, ia merasa ada yang lebih menghawatirkan dari sekedar demam, mungkin Haikal juga merasa seperti itu,pantas dia begitu sedih dan ngotot minta pulang. Kang Rahamt tahu dan paham perasaan Haikal, dia juga anak tunggal yang sangat disayang.
Suara adzan subuh terdengar bersahut-sahutan, suara merdu kang Maimun terdengar paling jelas bagi kang Rahmat. Cepat-cepat ia melipat surat Haikal kembali, mengembalikannya ke tempat semula dan segera berlari ke masjid bersama para santri yang baru saja terjaga dari mimpinya.
Usai sholat shubuh, Haikal masih duduk di tempat semula, ia bermunajat dengan teramat khusyuknya begitu Haikal meraupkan kedua tangannya kewajah. Kang Rahmat mendekatinya, duduk di sampingnya.
“Ngaji kang?”Tanya kang Rahmat begitu Haikal menatapnya. Anak itu mengangguk, lalu mereka berdua segera bangkit berjalan beriringan keluar dari masjid. Mereka tampak seperti bapak dan anak.
“Kang Haikal duluan ya”pamit Haikal lalu berbelok ke aula tempat para santri ngaji sama Abah atau pengasuh pondok pesantren.
“Ya….sudah hafalkan?”
“Insyaallah kang”sahut Haikal yang separuh tubuhnya telah menasuki aula. Begitu Haikal bergabung dengan santri-santri yang tengah menunggu Abah rawuh. Kang Rahmat pergi ke kantor pondok. Di sana ada kang Umam ketua pondok. Langsung saja kang Rahmat mengutarakan maksud kedatangannya ke kantor untuk meminjam HP pondok dan menceritakan sekilas tentang Haikal.
“Ini kang”kang Umam menyerahkan HP Nokia itu pada kang Rahmat.”Makasih ya kang.”
“Semoga tak separah yang kita bayangkan.”gumam kang Umam.
“Aku harap juga gitu kang.”balas kang Rahmat sambil menghubungi nomor yang tadi ia catat disecarik kertas saat ia mencari-cari surat dari ibu Haikal. Tak lama kemudian terdengar nada sambung.
“Assalamu’alaikum……bapak ini teman Haikal…”terang kang Rahmat sebelum ayah Haikal bertanya, alih-alih mendapat  jawaban kang Rahmat malah mendengar helaan nafas panjang kemudian hening……”hiks……nak Rahmat.”Suara di seberang serak dan berat. Seketika pikirannya melayang, ia teringat Haikal. Hatinya bergemuruh seakan dirinya adalah Haikal. Jantungnya berdegup kencang bersiap menerima kabar terburuk yang akan menghempaskannya dalam lautan air mata.
“Ah……bila aku sesakit ini bagaimana dengan Haikal yang benar-benar pemeran utama.”batin kang Rahmat yang tak sadar air matanya telah meleleh.
“Gimana keadaan ibu pak?”lirih kang Rahmat begitu ia mampu menguasai perasaan. Diam, hanya isak kecil, tak ada jawaban dari seberang.
“II…..I            busa sakit nak…..gi…..gi…..ginjalnya…..ha…harus di ….operasi cangkok ginjal.”
“Innalilahi……”batin kang Rahmat
“Doakan ya nak….se semoga ada donor ginjal dan operasinya berhasil.”
“Tentu pak kami akan berdoa untuk ibu.”sahut kang Rahmat dengan hati carut maut.
“Nak….jangan sampai Haikal tahu, rahasiakan ini dari Haikal, bi…bilang saja ibu sudah baikan……sudah dulu ya nak bapak masih banyak kerjaan.”
“Ya assalamu’alaikum….wr…wb..”
Terdengar suara serak ayah Haikal menjawab salam sebelum sambungan terputus. Kang Rahmat menghela nafas berat, dikembalikannya HP kepada kang Rahmat.”Harus operasi cangkok ginjal, parahnya sampai hari ini belum ada donor yang cocok.”kata kang Rahmat lemah menjawab tanda tanyanya diwajah kang Umam”tolong jangan bilang sama Haikal”gumam kang Rahmat lagi.
“Kasihan baru 2 pekan mondok cobaannya sudah seberat ini”sahut kang Umam turut sedih
“Yah anak sekecil itu sudah belajar mandiri”
“Ada kang rahmat?” tiba-tiba kang syamsul nongol, “Tu, dicari haikal!” Tambahnya ketika sudah melihat kang rahmat. Mendengar itu, kang rahmat segera bangkit, pemitan pada kang umam kemudian berlalu dari kantor pondok untuk menemui haikal.
Tak terasa hari sudah beranjak siang, dikiranya suasana masih remang tapi pada kenyataannya mentari sudah sedikit menampakkan sinarnya. Hari yang cerah membuat suasana pagi terang lebih awal, tentu saja burung-burung menyambut suasana cerah itu bersuka cita.
Tanpa banyak kata kang rahmat bergegas menuju masjid, dia hafal betul haikal paling suka tiduran di bawah beduk masjid samba menghafal juz amma atau hadits. Jam… jam segini biasanya sepi, meski tak sesepi kuburan paling ada beberapa santri yang sedang menghafal atau I’tikaf sambil menunggu waktu dhuha.
Benar saja sampai di depan masjid kang rahmat melihat haikal sedang tiduran di bawah beduk beralaskan sajadahj sambil menghafal juz amma. Tanpa mengganggu aktifitas haikal, kang rahmat duduk di samping beduk, sebenarnya tiap kali kang rahmat melihat haikal tidur di bawah beduk, ia ingin selalu tertawa. Gimana enggak, orang haikal jadi kaya ulat digencet batu. Dengan ukuran beduk yang besarnya 10x lipat tubuh haikal, “Cari aku ya?” Tanya kang rahmat saat haikal menghentikan menghafalnya. Haikal menutup juz amma yang dibawanya dan meletakkan di atas penyangga beduk. “Sini, jangan di situ, aku kan gak bisa masuk!” imbuh kang rahmat sambil menarik sajadah haikal tapi haikal berkelit dengan tampang sedihnya, “Heh, kesini bocah nakal!” gerutu kang rahmat beralih menangkap ujung sarung haikal lalu menariknya hingga sarung itu sedikit lepas dari tubuh haikal. Begitu haikal dekat, kang rahmat segera menang kap kaki haikal dan menariknya hingga tubuh haikal keluar dari bayang beduk.
“Aku pengen pulang kang.” Gumam haikal tenpa merapikan sarungnya, matanya menerawang jauh entah kemana. “Huh, pulang lagi, pulang lagi” batin kang rahmat mulai pusing.
“Mau pulang, mo apa? Wong kamu tuh disuruh ngaji yang bener, biar jadi anak sholeh yang bisa mendoakan dan menolong orang tua di akhirat kok malah minta pulang?” kang rahmat menrebahkan tubuhnya di samping haikal sambil melepas songkoknya, dalam hati ia berniat I’tikaf, yah itung-itung sambil menyelam minum air. “Em… niat I’tikafkan?” lanjut kang rahmat.
“Sudah kang, tapi aku mau pulang.” Rengek haikal yang kini perasaannya benar-benar tak nyaman, bayangan ibunya yang tengah terbaring tak berdaya mengiris-iris hatinya.
“Sudahlah kal, bukannya kamu lebih baik disini? Bukannya kamu kalau di rumah malah merepotkan ayah ibu kamu, mau apa di rumah, tak ada yang bisa dikerjakan oleh anak sekecil kamu!”
“Ibu…sa… sakit kang.” Haikal mulai menangis lagi, menangis lepas, sepertinya ia merasakan lega karena beban berton-ton yang selama ini ia pikul sendiri sudah mampu ia lepaskan. “Aku tak percaya ibu Cuma demam, perasaanku tak enak kang, seperti ada yang…”
 “Ssssst, jangan berkata begitu!” kang rahmat memiringkan badan lalu membelai rambut haikal dengan lembut. Ditariknya haikal agar lebih dekat lalu membenamkan wajah haikal di dadanya.
“Jangan berprasangka buruk dulu, siapa tau itu Cuma perasaanmu terlalu khawatir atau terlalu kangen, bisa sajakan?” Tanya kang rahmat serak tak kuasa menahan perasaannya, air matapun tak kuasa dibendung, nemun lekas-lekas kang rahmat menghapusnya. Ia tak mau haikal tau ia menangis. “Ah, apa yang harus aku lakukan Ya Allah?” batin kang rahmat merintih.
“Tapi kang, aku…”
“Tidak baik berprasangka pada Allah, berdoa saja semoga ibu kamu lekas sembuh.” hibur kang rahmat. Haikal tampak berpikir, perlahan tangisnya mereda meski ia masih serenggukan. Ia melepaskan diri dari pelukan kang rahmat, menghapus air matanya dengan ujung kemejanya. Meski wajah itu masih tampak mendung, tapi haikal sudah lebih tenang “Benar juga yang kang, selama in iaku terlalu dekat sama ibu, aku tak pernah jauh dari ibu, aku seperti ekor ibu, kemana saja selalu ikut kecuali di kamar sih takut sama ayah, dulupun kalau ibu sakit, aku suka ikut-ikutan sakit.”
“Tuh kan bener, kamunya aja yang terlalu percaya sama perasaan… tapi jangan lupa doakan ibumu semoga lekas baikan dan yang pasti kamu harus sabar dan ikhlas menerima cobaan.”
“Itu pasti aku usahain kang, aku kan pengen jadi anak yang bakti sama orang tua. Ibu bilang aku harus kerasan, harus jadi anak yang sholeh biar berguna bagi orang tua gitu kang.” Kata haikal ceria. Dia tersenyum manis sambil mengusap sisa-sisa ai mata dan ingusnya, melihat tingkah haikal, hati kang rahmat merintih. Ingin rasanya ia menangis, matanya mulai memanas.
“Udah…udah ngocehnya sekarang menghafal lagi, biar nanti ditambah. Malu kan kalau ngulang seperti kemarin? Masa surat Az Zalzalah yang Cuma 8 ayat gak hafal? Bukan anak cerdas namanya.” Kang rahmat memasang tampang lucu, mencoba menghilangkan perasaannya untuk sekian waktu
“hehehe…namanya juga lupa kang.” Sahut haikal sambil meraih songkok dan juz amaa
“Tapi kang aku kepikir ibu terus perasa…”
“Ah…sudah…sudah dhuha…” teriak kangrahmat mengalihkan perhatian haikal, ia segera bangkit lalu menarik tangan haikal agar berdiri, ia tak mau melihat air mata haikal lagi. Melihat haikal sedih ia jadi ikut-ikutan sedih, apalagi ia lebih tau dari haikal.
“Kang…” haikal masih saja berfikir tentang keadaan ibunya, kang rahmat mulai jengah
“Dhuha.. Ayo jangan malas! Dasar nakal!” gurau kang rahmat dengan tangkas kang rahmat menarik haikal ke punggungnya dan detik itu pula kang rahmat telah menggendong haikal sambil melangkah menuju kolam.
“Kok bau gak mandi ya?” Tanya kang rahmat sambil memonyongkan bibirnya
“Bau yo kang?” haikal balas Tanya sambil merentangkan tangannya
“Banget.”
“Hahaha… kena deh. Emang aku gak mandi dari kemarin kang ma…” belum sampai haikal berkata tubuhnya sudah oleh tanpa keseimbangan, kang rahmat memaksanya turun sambil berteriak
“Hiah… dasar anak nakal!” haikal jatuh terduduk sambil tertawa senang melihat tingkah kang rahmat yang menurutnya begitu lucu
Usai shalat dhuha, haikal kembali tiduran di bawah beduk sambil menghafal juz amma lagi, jauh darinya kang rahmat duduk bersandar pada tiang masjid sambil membaca kitab tanbihul ghofilin yang selalu ia tinggalkan di masjid. Mereka sibuk dengan kegiatan masing-masing. Sebuk memasukkan partikel-partikel ilmu ke dalam sanubari tidak hany ke dalam otak belaka. Dan tak jauh dari mereka, santri-santri juga melakukan hal yang sama.
Udara bertiup sepoi-sepoi, terasa sangat sejuk. Mentari bersinar tak terlalu menyengat, terasa hangat disekujur tubuh, menyehatkan karena dapat merubah pro vitamin D menjadi Vitamin D yang sangat baik untuk pertumbuhan tulang, sungguh suasana yang sangat nyaman.
Di tempatnya masing-masing haikal dan kang rahmat mulai liyer-liyer, merasakan nikmat belaian alam sampai akhirnya kedua insane itu terlelap dengan posisi yang sangat unik. Haikal tertidur di bawah beduk dengan songkok hitam menutupi wajahnya dan juz amma terjatuh di dadanya, mulutnya melongo siap kejatuhan kotoran cicak. Sementara kang rahmat tertidur dengan kepala menunduk dalam-dalam, songkok terjatuh di sampingnya, rambut hitamnya berantakan, kitabnya tergeletak begitu saja di pangkuannya, tidak ketinggalan mulutnya juga melongo kayak goa salah tempat.
“Kang… Kang rahmat… kang rahmat!” teriak kang umam sambil berlari-lati kea rah kang rahmat, “Kang rahmat!” suara itu terdengar amat nyaring. Kang rahmat gelagapan sampai-sampai kitabnya terjatuh, segera diraihnya kembali kitab itu berikut songkoknya.
DUG… “Adaw” suara kening haikal yang tertidur di bawah beduk kepentok beduk itu sendiri ketika ia kaget mendengar suara kang umam. Haikal jatuh tertidur kembali, ia meringis sambil mengelus-elus keningnya yang terasa sakit.
“Ada apa kang?” Tanya kang rahmat sambul berusaha mengumpulkan kesadarannya. Umam terdiam, ditatapnya haikal yang tengah berguling keluar dari tempat persembunyiannya kemudian mendekatkan wajahnya ke telinga kang rahmat, berbisik sebentar. Mendadak wajah kang rahmat menegang, dan ditatapnya haikal dengan perasaan campur aduk.
“Suruh ke kantor kang!” kata kang umam sedater mungkin
“Ya.” Sahut kang rahmat tanpa ekspresi, tanpa menunggu kang umam, kang rahmat segera bangkit dan berlari secepat kilat ke kantor. Disusul kang umam yang juga berlari meninggalkan haikal sendiri dengan tanda Tanya besar di otaknya dan macam prasangka yang tiba-tiba muncul tanpa ia pinta. Perasaan tak nyaman bergumul-gumul dalam dadanya, sesak, enta hkenapa tiba-tiba tubuhnya terasa lemas, matanya memerah, bayangan ibunya, segala tingkah lakunya dulu yang menhyusahkan ibunya berkelebat, menimbulkan sesal dan rasa bersalah bergunung-gunung, ingin ia berlari pulang, memeluk ibunya, mencium tangan ibunya, bersimpuh memohon maaf akan segala dosanya yang telah diperbuat. “Ibu…” rintih haikal pilu, air matanya mengalir menganak sungai, hatinya sakit teramat sakit.
Entah dorongan dari mana dengan langkah gontai dan mata terus basah, haikal melangkahkan kaki menuju kantor, peduli apa dia ingin di sisi kang rahmat, ingin tahu kenapa orang yang sangat disayanginya itu tampak begitu tegang dan panic. Tak mungkin hanya musyawarah pengurus, haikal yakin ada yang lain, ada yang tersembunyi.
Sementara itu di dalam kantor kang rahmat menanti HP yang tergeletak di atas meja itu bergetar, rasanya terlalu, lama benda itu tak kunjung menyala atau bergetar. Ia mondar-mandir, gelisah, sebentar duduk, berdiri lalu duduk kembali.
“Zzzzzz…….” Kahirnya benda itu bergetar, dengan tangkas kang rahmat menyambar benda itu dan langsung menempelkan ke pipinya begitu menekan tombol OK
“Assalamu’alaikum…bapak ini rahmat…!” sergah kang rahmat
“Kang rahmat? Maaf kami mau bicara dengan kang dwi di koperasi!”
“Oh, maaf ada apa? Nanti saya sampaikan…” sahut kang rahmat lemas campur kecewa
“Kitab pesanannya sudah ada bisa diambil kapan saja pada jam kerja.”
“Ya, nanti saya sampaikan.” Sahut kang rahmat kembali tanpa semangat, setelah mengucapkan terima kasih dan salam suara di seberang hilang, sambungan terputus
Dengan kecewa dan hati makin kalut kang rahmat meletakkan HP itu di atas meja. Di seberangnya, kang umam juga tak kalah sedih “Lama sekali.” Gerutu kang rahmat
“Lagi sibuk kali, tadi aja kayaknya keburu banget.”
“Huh… kang … perasaanku…” desah kang rahmat tak selesai karena HP kembali bergetar, kang rahmat langsung menyambarnya dan menempelkan ke pipinya
“Rahmat…” terdengar suara serak dari seberang tanpa mengucap salam, disusul suara isak tangis kecil yang berusaha ditahan-tahan.
“Apa yang terjadi pak?” Tanya rahmat dengan jantung berdebar kencang seakan menanti putusan hakim menanti vonis terbutuk yang akan diterimanya
“Ibu… men… i…i… ibu … meninggal mat….hiks, gagal ginjal…!”
“Innalillahi wainna ilaihi rajiun…” desis kang rahmat cukup keras untuk didengar sepasang telinga yang sejak tadi mendengarkan dari balik pintu dengan tubuh gemetar
“Tolong jaga haikal dulu, bapak titip haikal, jangan beritahu dia, dia masih terlalu kecil.” Pesan ayah haikal dengan suara serak dan tersendat. Kang rahmat yang perasaannya sudah kacau balau tak bisa menjawab, tubuhnya lemas, telapak tangannya basah dan matanya berkaca-kaca, ia teringat haikal yang masih kecil. Haikal yang akhir-akhir ini menangis terus.
“Si…si…siapa yang m…m…meninggal kang?” suara serak dan tersendat haikal menyentakkan kang rahmat dan kangumam yang sejak tadi diam dalam kesedihan. Tanpa terasa HP terjatuh di karpet. Kang rahmat terpana menatap haikal sudah berdiri di ambang pintu dengan air mata merebak, tubuhnya gemetar hebat. Detik itu waktu terasa terhenti, tegang dengan rasa tiada tentu, rasa sakit tiada terukur.
BRUK, haikal jatuh terduduk di lantai dengan tubuh lunglai, air mata terus keluar, tapi suaranya tak ada, ia sesenggukan tanpa suara dan tanpa daya, antara sadar dan tidak sadar.
Melihat haikal roboh, kang rahmat tersadar dari kebekuan, ia segera berlari menyongsong haikal, merengkuh tubuhnya yang lunglai di pelukan kang rahmat, wajah haikal begitu pucat, tangannya dingin sedingin es, tubuhnya bak tak bertulang.
“Haikal… tabah haikal… kamu harus kuat…” bisik kang rahmat seraya membenamlan wajah haikal ke dadanya. Kang umam yang hanya bisa melihat turut menitihkan air mata, hatinya turut terluka mengetahui apa yang menimpa haikal kecil.
“Haikal … tabah!” bisik kang rahmat kembali. Diangkatnya tubuh haikal lalu membaringkannya di atas karpet, kang umam meraih songkok haikal yang terjatuh dan ikut mendekati haikal yang terbaring lemah dengan mata terpejam nemun mengalirkan air mata, sesekali ia sesenggukan. “Haikal kamu sadarkan…tabah haikal…” bisik kang rahmat sambil menepuk pipi haikal
“Ibu… kang… ibu… haikal belum minta maaf sama ibu kang!” lirih haikal seperti tidak sadar. “Ibu… haikal minta maaf bu… dosa haikal banyak.”
“Haikal … bangun… bangun…” kang rahmat kembali menepuk pipi haikal, perlahan haikal membuka mata, menatap kang rahmat memelas. “Haikal, percayalah… ibumu sudah memaafkanmu, ayahmu bilang kamu… harus tetap di sini, jangan pulang…!” kang rahmat membelai rambut haikal lembut “Aku banyak dosa kang!”
“Tenang haikal… doakan saja semoga ibumu khusnul khotimah, percayalah ibumu sudah memaafkanmu, kalau tak percaya nanti kang rahmat telfonkan ayahmu, kalau boleh bicara asal kamu janji gak minta pulang. Kamu harus kuat haikal, kamu harus jadi orang yang berguna bagi ibu dan ayahmu, yang bisa mendoakan mereka…”
“Ya, kang aku gak akan pulang… tapi kang… ibu…”
“Percayalah kalau kamu pulang dan gagal, ibumu di alam sana akan sedih dan kecewa.”
“huh u huh u hu … ibu maafkan haikal, haikal janji tetap di sini ngirim doa buat ibu…”
Haikal kini menangis tersedu-sedu dalam pelukan kang rahmat
“Tabah kal… tabah…” bisik kang rahmat sambil membelai kepala haikal penuh kasih sayang.